Rabu, 07 Mei 2014

Aisha Adelia (03)

Perkembangan dan Akulturasi Islam di Indonesia

Agama Islam masuk ke Indonesia dimulai dari daerah pesisir pantai, kemudian diteruskan ke daerah pedalaman oleh para ulama atau penyebar ajaran Islam. Proses masuk dan berkembangnya agama Islam di Indonesia menurut Ahmad Mansur Suryanegara dalam bukunya yang berjudul Menemukan Sejarah, terdapat 3 teori yaitu teori Gujarat, teori Makkah dan teori Persia.

1. Teori Gujarat
Teori berpendapat bahwa agama Islam masuk ke Indonesia pada abad 13 dan pembawanya berasal dari Gujarat (Cambay), India. Dasar dari teori ini adalah:
  • Kurangnya fakta yang menjelaskan peranan bangsa Arab dalam penyebaran Islam di Indonesia.
  • Hubungan dagang Indonesia dengan India telah lama melalui jalur Indonesia – Cambay – Timur Tengah – Eropa.
  • Adanya batu nisan Sultan Samudra Pasai yaitu Malik Al Saleh tahun 1297 yang bercorak khas Gujarat.
Pendukung teori Gujarat adalah Snouck Hurgronye, WF Stutterheim dan Bernard H.M. Vlekke. Para ahli yang mendukung teori Gujarat, lebih memusatkan perhatiannya pada saat timbulnya kekuasaan politik Islam yaitu adanya kerajaan Samudra Pasai. Hal ini juga bersumber dari keterangan Marcopolo dari Venesia (Italia) yang pernah singgah di Perlak (Perureula) tahun 1292. Ia menceritakan bahwa di Perlak sudah banyak penduduk yang memeluk Islam dan banyak pedagang Islam dari India yang menyebarkan ajaran Islam.

2. Teori Makkah
Teori ini merupakan teori baru yang muncul sebagai sanggahan terhadap teori lama yaitu teori Gujarat. Teori Makkah berpendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-7 dan pembawanya berasal dari Arab (Mesir). Dasar teori ini adalah:
  • Pada abad ke-7 yaitu tahun 674 di pantai barat Sumatra sudah terdapat perkampungan Islam (Arab); dengan pertimbangan bahwa pedagang Arab sudah mendirikan perkampungan di Kanton sejak abad ke-4. Hal ini juga sesuai dengan berita Cina.
  • Kerajaan Samudra Pasai menganut aliran mazhab Syafi’i, di mana pengaruh mazhab Syafi’i terbesar pada waktu itu adalah Mesir dan Mekkah. Sedangkan Gujarat/India adalah penganut mazhab Hanafi.
  • Raja-raja Samudra Pasai menggunakan gelar Al Malik, yaitu gelar tersebut berasal dari Mesir.
Pendukung teori Makkah ini adalah Hamka, Van Leur dan T.W. Arnold. Para ahli yang mendukung teori ini menyatakan bahwa abad 13 sudah berdiri kekuasaan politik Islam, jadi masuknya ke Indonesia terjadi jauh sebelumnya yaitu abad ke-7 dan yang berperan besar terhadap proses penyebarannya adalah bangsa Arab sendiri.

3.   Proses masuk dan berkembangnya Islam ke Indonesia

1)      Proses masuk dan berkembangnya Islam ke Indonesia pada dasarnya dilakukan dengan jalan damai melalui beberapa jalur/saluran yaitu melalui perdagangan seperti yang dilakukan oleh pedagang Arab, Persia, dan Gujarat.

2)      Pedagang tersebut berinteraksi/bergaul dengan masyarakat Indonesia. Pada kesempatan tersebut dipergunakan untuk menyebarkan ajaran Islam. Selanjutnya di antara pedagang tersebut ada yang terus menetap atau mendirikan perkampungan, seperti pedagang Gujarat mendirikan perkampungan Pekojan.

3)      Dengan adanya perkampungan pedagang, maka interaksi semakin sering bahkan ada yang sampai menikah dengan wanita Indonesia, sehingga proses penyebaran Islam semakin cepat berkembang.

4)      Perkembangan Islam yang cepat menyebabkan muncul tokoh ulama atau mubaligh yang menyebarkan Islam melalui pendidikan dengan mendirikan pondok-pondok pesantren.

5)      Pondok pesantren adalah tempat para pemuda dari berbagai daerah dan kalangan masyarakat menimba ilmu agama Islam. Setelah tamat dari pondok tersebut, maka para pemuda menjadi juru dakwah untuk menyebarkan Islam di daerahnya masing-masing.

6)      Di samping penyebaran Islam melalui saluran yang telah dijelaskan di atas, Islam juga disebarkan melalui kesenian, misalnya melalui pertunjukkan seni gamelan ataupun wayang kulit. Dengan demikian Islam semakin cepat berkembang dan mudah diterima oleh rakyat Indonesia.

4.   Periode penyebaran Islam oleh para ulama/wali
Di Pulau Jawa, peranan mubaligh dan ulama tergabung dalam kelompok para wali yang dikenal dengan sebutan walisongo yang merupakan suatu majelis yang berjumlah sembilan orang. Majelis ini berlangsung dalam beberapa periode secara berkesinambungan, mengganti ulama yang wafat / hijrah ke luar Jawa.

1)   Periode I:
Penyebaran Islam dilakukan oleh Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishaq (-), Ahmad Jumadil Qubra, Muhammad Al-Magribi, Malik Israil, Muhammad Al-Akbar, Maulana Hasannudin, Aliyuddin, dan Syeikh Subakir (-).

2)   Periode II:
Penyebaran Islam digantikan oleh Raden Rahmat (Sunan Ampel Denta), Ja’far Shiddiq (Sunan Kudus), Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati).

3)   Periode III:
Hijrahnya Maulana Ishaq dan Syeikh Subakir serta wafatnya Maulana Hassanudin dan Aliyuddin menyebabkan penyebar Islam pada periode ini dilakukan oleh Raden Paku (Sunan Giri), Raden Said (Sunan Kalijaga), Raden Makhdum Ibrahim (Sunan Bonang), dan Raden Qashim (Sunan Drajat).

4)    Periode IV:
Penyebar Islam selanjutnya adalah Jumadil Kubra dan Muhammad Al-Maghribi, dan kemudian digantikan oleh Raden Hasan (Raden Patah) dan Fadhilah Khan (Falatehan).

5)    Periode V:
Untuk periode ini karena Raden Patah menjadi Sultan Demak, maka yang menggantikan posisinya adalah Sunan Muria.

Para wali / ulama yang dikenal dengan sebutan walisongo di Pulau Jawa terdiri dari:

a.    Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim). Berasal dari wilayah Maghribi (Afrika Utara). Dia selama 20 tahun berada di Gresik mencetak kader, oleh karenanya dikenal sebagai Sunan Gresik. Dialah yang dikenal sebagai pelopor penyebaran Islam pertama di Jawa.

b.    Sunan Ampel (Maulana Rahmatullah). Permulaan dakwahnya dimulai di pesantren yang didirikannya di Ampel Denta (dekat Surabaya). Sunan Ampel juga dianggap sebagai penerus cita-cita dan perjuangan Sunan Gresik.

c.    Sunan Bonang (Maulana Makdum Ibrahim). Sunan ini berupaya menyesuaikan dakwahnya dalam hal pewayangan dan musik gamelan. Setiap bait lagu diselingi dengan ucapan dua kalimat syahadat (syahadatain atau sekaten).

d.    Sunan Drajat (Maulana Syarifudin). Wali ini dikenal sebagai wali yang berjiwa dan sosial tinggi. Wali ini hidup pada masa Kerajaan Majapahit runtuh dan rakyat dalam krisis yang memprihatinkan. Dia juga menggunakan seni sebagai media dakwahnya, yaitu pangkur sebagai alat seni lipfak.

e.    Sunan Giri (Maulana Umar Said). Aslinya bernama Raden Paku merupakan seorang wali yang menyebarkan agama Islam dengan menitik beratkan pada bidang pendidikan agama Islam.

f.     Sunan Kalijaga (Maulana Muhammad Syahid). Wali ini dikenal sebagai budayawan dan seniman. Wali ini berdakwah dengan cara berkelana. Sarana dakwahnya adalah wayang kalif yang memuat nilai-nilai keislaman. Lagu yang diciptakannya adalah dandanggula.

g.    Sunan Muria (Maulana Umar Said). Wali ini terkenal pendiam tapi fatwahnya sangat tajam, oleh karena itu dia dikenal sebagi seorang sufi, bahkan guru tasawuf. Dia juga menyukai seni nuasa keislaman. Dia juga menciptakan lagu sinom dan kinanti.

h.    Sunan Kudus (Maulana Ja’far Shadiq). Wali ini mendapat gelar waliyul alim (orang yang luas ilmunya). Karena memiliki ilmu tauhid dan fikih. Oleh karenanya dikenal sebagai Sunan Kudus. Dia membangun masjid di Kudus yang disebut Menara Kudus.

i.      Sunan Gunung Jati (Maulana Syarif Hidayatullah). Wali ini menyebutkan Islam di Cirebon, Jawa Barat. Ia merupakan cucu Raja Pejajaran yang lahir di Makkah – setelah dewasa menggantikan pamannya sebagai raja dan berhasil menjadikan Cirebon sebagai kerajaan Islam pertama di Jabar.

Sembilan wali ini sangat terkenal di Jawa. Masyarakat Jawa sebagian memandang para wali memiliki kesempurnaan hidup dan selalu dekat dengan Allah, sehingga dikenal dengan sebutan “waliullah” yang artinya orang yang dikasihi Allah.

5. Wujud Akulturasi Kebudayaan Indonesia dan Kebudayaan Islam
Sebelum Islam masuk dan berkembang, Indonesia sudah memiliki corak kebudayaan yang dipengaruhi oleh agama Hindu dan Budha. Dengan masuknya Islam, Indonesia kembali mengalami proses akulturasi (proses bercampurnya dua atau lebih kebudayaan karena percampuran bangsa-bangsa dan saling memengaruhi) yang melahirkan kebudayaan baru yaitu kebudayaan Islam Indonesia. Masuknya Islam tersebut tidak berarti kebudayaan Hindu dan Budha hilang. Bentuk budaya sebagai hasil dari proses akulturasi tersebut, tidak hanya bersifat kebendaan/material tetapi juga menyangkut perilaku masyarakat Indonesia.

1) Seni Bangunan
Wujud akulturasi dalam seni bangunan dapat terlihat pada bangunan masjid, makam, dan istana. Wujud akulturasi dari masjid kuno memiliki ciri sebagai berikut:
  • Atapnya berbentuk tumpang yaitu atap yang bersusun semakin ke atas semakin kecil dari tingkatan paling atas berbentuk limas. Jumlah atapnya ganjil 1, 3, atau 5. Dan biasanya ditambah dengan kemuncak untuk memberi tekanan akan keruncingannya yang disebut dengan mustaka.
  • Tidak dilengkapi dengan menara, seperti lazimnya bangunan masjid yang ada di luar Indonesia atau yang ada sekarang, tetapi dilengkapi dengan kentongan atau bedug untuk menyerukan adzan atau panggilan shalat. Bedug dan kentongan merupakan budaya asli Indonesia.
  • Letak masjid biasanya dekat dengan istana yaitu sebelah barat alun-alun atau bahkan didirikan di tempat tempat keramat yaitu di atas bukit atau dekat dengan makam.



Mengenai contoh masjid kuno, kita dapat memerhatikan Masjid Agung Demak, Masjid Gunung Jati (Cirebon), Masjid Kudus, dan sebagainya. Selain bangunan masjid, wujud akulturasi kebudayaan Islam juga terlihat pada bangunan makam. Ciri-ciri dari wujud akulturasi pada bangunan makam terlihat dari:
  • Makam-makam kuno dibangun di atas bukit atau tempat-tempat yang keramat.
  • Makamnya terbuat dari bangunan batu yang disebut dengan jirat atau kijing, nisannya juga terbuat dari batu.
  • Di atas jirat biasanya didirikan rumah tersendiri yang disebut dengan cungkup atau kubba.
  • Dilengkapi dengan tembok atau gapura yang menghubungkan antara makam dengan makam atau kelompok-kelompok makam. Bentuk gapura tersebut ada yang berbentuk kori agung (beratap dan berpintu) dan ada yang berbentuk candi bentar (tidak beratap dan tidak berpintu).
  • Di dekat makam biasanya dibangun masjid, maka disebut masjid makam dan biasanya makam tersebut adalah makam para wali atau raja. Contohnya Masjid Makam Sendang Duwur di Tuban.


Bangunan istana arsitektur yang dibangun pada awal perkembangan Islam juga memperlihatkan adanya unsur akulturasi dari segi arsitektur, ragam hias, maupun dari seni patungnya, contohnya Istana Kasultanan Yogyakarta dilengkapi dengan patung penjaga Dwarapala (Hindu).

2) Seni Rupa
Tradisi Islam tidak menggambarkan bentuk manusia atau hewan. Seni ukir relief yang menghiasi masjid atau makam Islam biasanya berupa suluran tumbuh-tumbuhan, namun terjadi pula sinkretisme (hasil perpaduan dua aliran seni logam) agar didapat keserasian, dan di tengah ragam hias suluran terdapat bentuk kera yang distilir. Selain ditemukan di masjid, ukiran atau hiasan juga ditemukan pada gapura-gapura atau pada pintu dan tiang.

3) Aksara dan Seni Sastra
Tersebarnya agama Islam ke Indonesia berpengaruh terhadap bidang aksara atau tulisan, yaitu masyarakat mulai mengenal tulisan Arab, bahkan berkembang tulisan Arab Melayu atau biasanya dikenal dengan istilah Arab gundul yaitu tulisan Arab yang dipakai untuk menuliskan bahasa Melayu tetapi tidak menggunakan tanda-tanda a, i, u seperti lazimnya tulisan Arab. Di samping itu juga, huruf Arab berkembang menjadi seni kaligrafi yang banyak digunakan sebagai motif hiasan ataupun ukiran.
Sedangkan dalam seni sastra yang berkembang pada awal periode Islam adalah seni sastra yang berasal dari perpaduan sastra pengaruh Hindu – Budha dan sastra Islam yang banyak mendapat pengaruh Persia. Dengan demikian wujud akulturasi dalam seni sastra tersebut terlihat dari tulisan/aksara yang digunakan yaitu menggunakan huruf Arab Melayu (Arab gundul) dan isi ceritanya juga ada yang mengambil hasil sastra yang berkembang pada zaman Hindu.
Bentuk seni sastra yang berkembang adalah:
  1. Hikayat yaitu cerita atau dongeng yang berpangkal dari peristiwa atau tokoh sejarah. Hikayat ditulis dalam bentuk peristiwa atau tokoh sejarah. Hikayat ditulis dalam bentuk gancaran (karangan bebas atau prosa). Contoh hikayat yang terkenal yaitu Hikayat 1001 Malam, Hikayat Amir Hamzah, Hikayat Pandawa Lima (Hindu), Hikayat Sri Rama (Hindu).
  2. Babad adalah kisah rekaan pujangga keraton sering dianggap sebagai peristiwa sejarah, contohnya Babad Tanah Jawi (Jawa Kuno) dan Babad Cirebon.
  3. Suluk adalah kitab yang membentangkan soal-soal tasawuf, contohnya Suluk Sukarsa, Suluk Wijil, Suluk Malang Sumirang, dan sebagainya.
  4. Primbon adalah hasil sastra yang sangat dekat dengan suluk karena berbentuk kitab yang berisi ramalan-ramalan, keajaiban, dan penentuan hari baik/buruk. Bentuk seni sastra tersebut di atas banyak berkembang di Melayu dan Pulau Jawa.


 4) Sistem Pemerintahan
Dalam pemerintahan, sebelum Islam masuk Indonesia, sudah berkembang pemerintahan yang bercorak Hindu ataupun Budha tetapi setelah Islam masuk, maka kerajaan-kerajaan yang bercorak Hindu/Budha mengalami keruntuhan dan digantikan perannya oleh kerajaan-kerajaan yang bercorak Islam seperti Samudra Pasai, Demak, Malaka, dan sebagainya. Dalam sistem pemerintahan yang bercorak Islam, raja bergelar sultan atau sunan seperti halnya para wali dan apabila raja meninggal, raja tidak lagi dimakamkan di candi atau dicandikan namun dimakamkan secara Islam.

5) Sistem Kalender
Sebelum budaya Islam masuk ke Indonesia, masyarakat Indonesia sudah mengenal kalender Saka (kalender Hindu) yang dimulai tahun 78 M. Dalam kalender Saka ini ditemukan nama-nama pasaran hari seperti legi, pahing, pon, wage, dan kliwon. Apakah sebelumnya Anda pernah mengetahui/mengenal hari-hari pasaran? Setelah berkembangnya Islam, Sultan Agung dari Mataram menciptakan kalender Jawa dengan menggunakan perhitungan peredaran bulan (komariah) seperti tahun Hijriah (Islam).
Pada kalender Jawa, Sultan Agung melakukan perubahan pada nama-nama bulan seperti Muharram diganti dengan Syuro dan Ramadhan diganti dengan Pasa. Sedangkan untuk nama-nama hari tetap menggunakan nama-nama sesuai dengan bahasa Arab. Namun ada beberapa nama hari pasaran pada kalender Saka yang juga digunakan. Kalender Sultan Agung tersebut dimulai pada tanggal 1 Syuro 1555 Jawa, atau tepatnya 1 Muharram 1053 H, yang juga bertepatan dengan tanggal 8 Agustus 1633 M.

Sumber:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar