SIDDHARTA GAUTAMA
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgilfnVEWJdFtuUzXIihpwk2rSKk3OnnWk5-O4AFE02CTZNEd39JKqsJmljccOu_d4oajC3r0-z1bgNDl2hoiW7GqAhDaXjprWmcPd6W-F6Pu8d9Eeznhb0vtB4mQcEFWQAhqzrs41R0Gw/s1600/prasastilg.png)
Ayah
dari Pangeran Siddhartha Gautama adalah Sri
Baginda Raja Suddhodana dari Suku Sakya dan
ibunya adalah Ratu Mahā Māyā Dewi. Ibunda Pangeran Siddharta Gautama
meninggal dunia tujuh hari setelah melahirkan Pangeran. Setelah meninggal,
beliau terlahir di alam/surga Tusita, yaitu alam surga luhur.
Sejak meninggalnya Ratu Mahā Māyā Dewi, Pangeran Siddharta dirawat oleh Ratu
Mahā Pajāpati, bibinya yang juga menjadi isteri Raja Suddhodana.
RIWAYAT
HIDUP
Pangeran
Siddharta dilahirkan pada tahun 563 SM di Taman Lumbini, saat Ratu Maha Maya berdiri memegang dahan pohon sala. Pada saat ia lahir, dua arus kecil jatuh dari langit,
yang satu dingin sedangkan yang lainnya hangat. Arus tersebut membasuh tubuh
Siddhartha. Siddhartha lahir dalam keadaan bersih tanpa noda.
Dalam Usia 7 tahun Pangeran
Siddharta telah mempelajari berbagai ilmu pengetahuan. Pangeran Siddharta
menguasai semua pelajaran dengan baik. Dalam usia 16 tahun Pangeran Siddharta
menikah dengan Puteri Yasodhara yang dipersuntingnya setelah memenangkan
berbagai sayembara.
Dan saat berumur 16 tahun, Pangeran memiliki tiga Istana, yaitu:
·
Istana
Musim Dingin (Ramma)
·
Istana
Musim Panas (Suramma)
·
Istana
Musim Hujan (Subha)
Selama 10 tahun lamanya Pangeran
Siddharta hidup dalam kesenangan duniawi. Pergolakan batin Pangeran Siddharta
berjalan terus sampai berusia 29 tahun, tepat pada saat putra tunggalnya Rahula lahir.
Pada suatu malam, Pangeran Siddharta memutuskan untuk meninggalkan istananya
dan dengan ditemani oleh kusirnya, Canna. Tekadnya telah bulat untuk melakukan
Pelepasan Agung dengan menjalani hidup sebagai pertapa.
Setelah itu Pangeran Siddhartha
meninggalkan istana,
keluarga, kemewahan, untuk pergi berguru mencari ilmu sejati yang dapat
membebaskan manusia dari usia tua, sakit dan mati. Pertapa Siddharta berguru kepada
Alāra Kālāma dan kemudian kepada Uddaka Ramāputra, tetapi tidak merasa puas
karena tidak memperoleh yang diharapkannya. Kemudian beliau bertapa menyiksa
diri dengan ditemani lima orang pertapa. Akhirnya beliau juga meninggalkan cara
yang ekstrem itu dan bermeditasi di bawah pohon Bodhi untuk mendapatkan
Penerangan Agung.
MASA PENGEMBARA
Pada suatu hari pertapa Gautama dalam pertapaannya mendengar
seorang tua sedang menasihati anaknya di atas perahu yang melintasi sungai
Nairanjana dengan mengatakan:
“
|
Bila senar kecapi ini
dikencangkan, suaranya akan semakin tinggi. Kalau terlalu dikencangkan,
putuslah senar kecapi ini, dan lenyaplah suara kecapi itu. Bila senar kecapi
ini dikendorkan, suaranya akan semakin merendah. Kalau terlalu dikendorkan,
maka lenyaplah suara kecapi itu.
|
”
|
Nasehat tersebut sangat berarti bagi pertapa Gautama yang
akhirnya memutuskan untuk menghentikan tapanya lalu pergi ke sungai untuk
mandi. Badannya yang telah tinggal tulang hampir tidak sanggup untuk menopang
tubuh pertapa Gautama. Seorang wanita bernama Sujata memberi pertapa Gautama
semangkuk susu. Badannya dirasakannya sangat lemah dan maut hampir saja
merenggut jiwanya, namun dengan kemauan yang keras membaja, pertapa Gautama
melanjutkan samadhinya di bawah pohon bodhi (Asetta) di Hutan Gaya,
sambil ber-prasetya,
"Meskipun darahku mengering, dagingku membusuk, tulang belulang jatuh berserakan,
tetapi aku tidak akan meninggalkan tempat ini sampai aku mencapai Pencerahan
Sempurna."
Perasaan bimbang dan ragu melanda diri pertapa Gautama,
hampir saja Beliau putus asa menghadapi godaan Mara, setan penggoda yang
dahsyat. Dengan kemauan yang keras membaja dan dengan iman yang teguh kukuh,
akhirnya godaan Mara dapat dilawan dan ditaklukkannya. Hal ini terjadi ketika
bintang pagi memperlihatkan dirinya di ufuk timur.
Pertapa Gautama telah mencapai Pencerahan Sempurna dan
menjadi Samyaksam-Buddha (Sammasam-Buddha), tepat pada saat bulan Purnama Raya
di bulan Waisak ketika
ia berusia 35 tahun (menurut versi Buddhisme Mahayana).
PENYEBARAN AGAMA BUDHA
Lima pertapa yang mendampingi Beliau
di hutan Uruwela merupakan murid pertama Buddha yang mendengarkan khotbah
pertama Dhammacakka Pavattana,
dimana Beliau menjelaskan mengenai Jalan Tengah yang ditemukan-Nya, yaitu
Delapan Ruas Jalan Kemuliaan termasuk awal khotbahNya yang menjelaskan
"Empat Kebenaran Mulia".
Buddha Gautama berkelana
menyebarkan Dharma selama empat puluh lima tahun
lamanya kepada umat manusia dengan penuh cinta kasih dan kasih sayang, hingga
akhirnya mencapai usia 80 tahun, saat ia menyadari bahwa tiga bulan lagi ia
akan mencapai Parinibbana.
Buddha dalam keadaan sakit terbaring di antara dua
pohon sala di Kusinagara, memberikan khotbah Dharma
terakhir kepada siswa-siswa-Nya, lalu Parinibbana (versi Buddhisme Mahayana, 486 SM pada hari ke-15 bulan ke-2 kalender Lunar. Versi
WFB pada bulan Mei, 543 SM).
SIFAT AGUNG BUDDHA
Seorang Buddha memiliki sifat Cinta
Kasih (maitri atau metta) dan Kasih Sayang (karuna). Cinta Kasih dan Kasih
Sayang seorang Buddha tidak terbatas oleh waktu dan selalu abadi, karena telah
ada dan memancar sejak manusia pertama kalinya terlahir dalam lingkaran hidup
roda samsara yang disebabkan oleh ketidaktahuan atau kebodohan
batinnya. Jalan untuk mencapai Kebuddhaan ialah dengan melenyapkan
ketidaktahuan atau kebodohan batin yang dimiliki oleh manusia. Pada waktu
Pangeran Siddharta meninggalkan kehidupan duniawi, ia telah mengikrarkan Empat
Prasetya yang berdasarkan Cinta Kasih dan Kasih Sayang yang tidak terbatas,
yaitu
1. Berusaha menolong semua makhluk.
2. Menolak semua keinginan nafsu
keduniawian.
3. Mempelajari, menghayati dan
mengamalkan Dharma.
4. Berusaha mencapai Pencerahan
Sempurna.
Buddha Gautama pertama melatih diri untuk melaksanakan amal
kebajikan kepada semua makhluk dengan menghindarkan diri dari sepuluh tindakan
yang diakibatkan oleh tubuh, ucapan dan pikiran, yaitu
·
Tubuh
(kaya): pembunuhan, pencurian, perbuatan jinah.
·
Ucapan
(vak): penipuan, pembicaraan fitnah, pengucapan kasar, percakapan tiada
manfaat.
·
Pikiran
(citta): kemelekatan, niat buruk dan kepercayaan yang salah.
Buddha tidak hanya dapat mengetahui
dengan hanya melihat wujud dan sifat-Nya semata-mata, karena wujud dan sifat
luar tersebut bukanlah Buddha yang sejati. Jalan yang benar untuk mengetahui Buddha adalah dengan jalan membebaskan diri dari hal-hal
duniawi/menjalani hidup dengan cara bertapa. Buddha sejati tidak dapat dilihat
oleh mata manusia biasa, sehingga Sifat Agung seorang Buddha tidak dapat
dilukiskan dengan kata-kata.
Namun Buddha dapat mewujudkan diri-Nya dalam
segala bentuk dengan sifat yang serba luhur. Apabila seseorang dapat melihat
jelas wujud-Nya atau mengerti Sifat Agung Buddha, namun tidak tertarik kepada
wujud-Nya atau sifat-Nya, dialah yang sesungguhnya yang telah mempunyai
kebijaksanaan untuk melihat dan mengetahui Buddha dengan benar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar