Teori Keruntuhan Kerajaan Banten
Selama tahun-tahun terakhir abad ke-16, banten
diperintahkan bukan oleh seorang Sultan, akan tetapi oleh anggota
kerajaan yang lebih tua. Mereka bertindak sebagai wali dari Raja yang
masih kecil, bernama Sultan Abdul Kadir. Pergantian wali inilah yang membuat Kerajaan Banten tidak dalam posisi yang menguntungkan. Setelah Sultan Abdul Kadir dewasa dan memegang kekuasaan Banten, maka para
pedagang Belanda mulai berdatangan ke banten dengan bersikap angkuh dan
kasar. Saat itu juga bertepatan dengan penyerangan Banten terhadap Palembang. Sepulangnya dari penyerangan itu Belanda masih berada di Banten untuk menunggu hasil panen lada agar bisa dibeli dengan murah. Sultan Abdul Kadir pun marah, bahkan
Belanda juga merampok dua buah kapal milik orang-orang Jawa yang
penuh dengan lada. Setelah merampok mereka kabur sambil menembaki Kota
Banten. Akan tetapi beberapa pasukan Banten berhasil menangkap Cornelis
de Houtman sebagai pimpinannya. Setelah ditahan selama sebulan, ia bebas
dengan tebusan 45.000 gulden yang kemudian diusir pada tanggal 2 Oktober 1596.
Daerah
Banten pun menjadi lebih ramai dari sebelumnya dengan banyaknya
kapal-kapal asing yang berlabuh. Tidak lain tujuan mereka adalah
berdagang. Tetapi dengan bertambahnya para pedagang di daerah itu tidak
menutup kemungkinan terjadinya kecurangan. Maka di wilayah Kerajaan
Banten didirikanlah Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC).
Hal ini menyulitkan Kerajaan Banten untuk bergerak lebih leluasa. Maka
dengan ketegasan Sultan Abul Mufakhir keberadaan VOC ini dapat teratasi
dengan memindahkan kantor VOC ke Batavia.
De Graaf menyebutkan dalam bukunya Kerajaan Islam Pertama di Jawa bahwa kekuasaan Belanda di Batavia membawa keamanan dan ketertiban tersendiri bagi raja-raja Banten dari pengaruh raja-raja Mataram ke arah barat dan serangan dari Palembang.
Tentu hal ini mempersengit konflik antara
Banten dengan Belanda sehingga terjadilah perang antara keduanya pada
tahun 1633. Pasukan Banten yang beroperasi di laut sebagai perompak, dan
yang di darat sebagai perampok. Kejadian itu memprovokasi VOC untuk
pindah ke daerah Anyer, Lampung, dan Tanam. Perang ini berlangsung selama enam tahun, dan perjanjian damai baru
tertandatangani pada tahun 1639. Walau begitu hubungan keduanya masih
tetap memanas.
Setelah
wafatnya Abdul Kadir, maka terpilihlah Sultan Ageng Tirtayasa sebagai
pemimpin kerajaan Banten. Pada masa pemerintahan Sultan Ageng, Kerajaan
Banten semakin memperuncing permusuhannya dengan VOC. Hal ini terlihat
dengan dilakukannya perusakan terhadap dua kapal Belanda karena dinilai
terlalu memaksa untuk memonopoli perdagangan di Banten. Demikian terus
terjadi konflik antara keduanya.
Dalam paparan Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 yang dikarang M.C.
Ricklefs bahwa Sultan Abu Nasr Abdul Kahar Sang Putra Mahkota Banten
ini yang kelak bergelar Sultan Haji (1682-7) menjalankan kekuasaan yang
sangat besar di banten. Ambisi Putra Mahkota dan Sultan Ageng
menimbulkan konflik. Karena Sang Putra Mahkota yang memihak kepada VOC,
sedangkan Sultan Ageng yang menolak keras VOC. Pada tahun 1680 Sultan Ageng
berniat untuk perang melawan VOC ketika para pedagang Banten dianiaya.
Namun, sebelum perselisihan dimulai,
Putra Mahkota mengambil alih kekuasaan, terlebih lagi menawan
Sultan Ageng di kediamannya. Semakin dia berpaling ke belanda, maka
semakin banyak pula dia kehilangan dukungan dari kaum muslim.
Nina H. Lubis dalam bukunya Banten Dalam Pergumulan Sejarah
menjelaskan bahwa dukungan Putra Mahkota kepada VOC dikarenakan
pendekatan dan penghasutan yang dilakukan oleh wakil Belanda di banten
bernama W. Caeff. Karenannya Putra Mahkota ini mencurigai Sultan Ageng
dan anaknya yang bernama Pangeran Arya Purbaya, sebab takut dirinya
tidak bisa naik tahta kesultanan karena masih ada Pangeran itu. Dan
akhirnya Putra Mahkota ini meminta bantuan VOC dan menerima persyaratan
yang diajukan oleh mereka.
Pada akhir abad 17, tepatnya pada tahun 1682, pasukan VOC yang dipimpin oleh Francois Tack dan Isaaac de Saint-Martin
berlayar menuju Banten untuk menangkap anak Sultan Ageng itu yang
berada di Istananya. Sementara itu Sultan Ageng beserta pendukungnya
berhasil kabur dan merebut kembali kota tersebut untuk kemudian
dibakarnya. Dan Putra Mahkota menjadi pesuruh yang hanya
termangut-mangut kepada VOC. Artileri belanda berhasil menangkap Sultan
Ageng dan menahannya di Banten yang kemudian dipindahkan ke Batavia
tempat wafatnya. Akan tetapi Belanda masih tidak bisa tidur lelap,
karena perjuangan pasukan Banten tidak terhenti sampai di situ. Para
pengikut setia Sultan Ageng yang dipimpin oleh Syekh Yusuf terus
melakukan intimidasi terhadap Kompeni itu. Nasib buruk menimpa Syekh
Yusuf, tahun 1683 ia beserta keluarganya tertangkap Kompeni. Dengan
begitu Kesultanan banten berada di ambang kehancuran. Terlebih lagi
dengan ditandatanganinya perjanjian pada tahun 1684 yang terdiri dari
sepuluh pasal, yang tentu saja merugikan pihak Kerajaan Banten. Akibat
perjanjian ini Kesultanan Banten mulai dikuasai Belanda dengan
dibangunnya benteng Kompeni yang bernama Speelwijk di tempat bekas
benteng kesultanan yang telah dihancurkan.
Penjelasan dalam Banten Dalam Pergumulan Sejarah
mengindikasikan bahwa setelah Banten dalam ambang kehancuran, maka
Sultan Hajilah yang memegang kekuasaan. Pada masa pemerintahannya,
Banten semakin porak-poranda dengan maraknya kerusuhan, pemberontakan,
pembunuhan, perampokan, kekacauan di segala bidang yang kerap terjadi di
mana-mana. Bahkan sempat terjadi di dalam kota pembakaran yang
membumihanguskan 2/3 bangunan.
Sepeninggal
Sultan Haji maka terjadilah perebutan kekuasaan di antara anak-anaknya.
Tentu campur tangan Kompeni tidak terelakkan yang menjadikan anak
pertama Pangeran Ratu mnejadi Sultan Banten yang bergelar Sultan Abul
Fadhl Muhammad Yahya (1687-1690). Ternyata Sultan ini sangat membenci Belanda dan berniat mengembalikan kejayaan Banten. Akan tetapi selang tiga tahun kemudian ia sakit dan tak lama kemudain wafat.
Dengan
adanya campur tangan dari VOC dalam masalah kepemimpinan menimbulkan
ketidakefektifan dalam menjalankan tugasnya. Dan puncaknya adalah ketika
VOC pada tahun 1733 mulai berusaha mendudukan orang-orang luar
kerajaan yang bukan dari keturunan Maulana Hasanudin di tahta Kerajaan
Banten melalui agen-agen politiknya yang masuk dalam lingkungan keraton
Banten. Dan karena ini pula tahun 1750 perlawanan Banten yang dipimpin
Ratu Bagus Buang dan Kiai Tapa dimulai. Ketika kemenangan hampir diraih
mereka, bantuan militer VOC datang membantu menumpas perlawanan Banten.
Pasukan Banten pun mundur dan kemudian menyerang lagi. Serangan
berikutnya membuat VOC mengajukan genjatan senjata. Dan di momen inilah
Belanda menambah armadanya. Maka pada tahun 1751 denga kekuatan pasukan
7.000 orang melakukan serangan ke titik pertahanan VOC. Namun apa daya
kekuatan persenjataan yang tidak seimbang mengakibatkan pasukan Ratu
Bagus dan Kiai Tapa ditekan habis-habisan oleh pasukan VOC sampai ke
pedalaman Banten dekat daerah Jasinga. Kekalahan ini menyebabkan Kiai
Tapa sampai pada suatu kesimpulan, yaitu Belanda tidak bisa dihancurkan
kecuali terlaksananya peperangan secara serentak di berbagai daerah.
Karena itu ia mencari dukungan dari berbagai daerah, tetapi tidak
mendapatkannya sesuai yang diharapkan. Walaupun tahta kerajaan berhasil
dikembalikan pada keturunan Maulana Hasanudin, tetapi sebenarnya mereka
telah berada dalam genggaman Belanda yang pada akhirnya menjajah daerah
Nusantara.
Daftar Pustaka
De Graaf, H. J. dan TH. Pigeaud. Kerajaan Islam Pertama Di Jawa. Terjemahan bahasa Indonesia (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2001)
H. Lubis, Nina. Banten Dalam Pergumulan Sejarah: Sultan, ulama, jawara (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2003)
Ricklefs, M.C. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta,
2008)
http://maktabahalmukhtar.blogspot.com/2010/01/teori-keruntuhan-kerajaan-banten.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar